Pertumbuhan ekonomi China yang signifikan membuat konsumsi minyak nabati meningkat. Importir China bakal mengimpor lebih banyak minyak nabati, di antaranya minyak kelapa sawit mentah untuk memenuhi permintaan domestik.
Demikian dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal Kamar Dagang Impor dan Ekspor Bahan Makanan dan Produk Hewani Republik Rakyat China Wang Huiquan seusai
berbicara dalam Pertemuan VIII Meja Bundar Minyak Kelapa Sawit Lestari (Roundtable on Sustainable Palm Oil/RSPO) di Jakarta, Rabu (10/11).
China tengah mempelajari standar kelestarian untuk mengantisipasi tren global atas produk ramah lingkungan.
”Saya percaya impor minyak nabati kami akan lebih tinggi, termasuk CPO. Keunggulan CPO saat ini adalah harga yang lebih murah dari minyak kedelai, tetapi kalau naiknya terlalu cepat, harga menjadi pertimbangan lagi bagi konsumen,” ujar Wang.
Ia menekankan, China mendukung CPO lestari. Namun, soal harga premium, masih butuh waktu karena impor CPO baru 22,4 persen dari minyak nabati China.
CPO merupakan minyak nabati kedua terbesar setelah minyak kedelai yang dikonsumsi warga China. Wang mengungkapkan, China mengimpor 24 juta ton minyak kedelai dan 6,4 juta ton CPO selama 2009-2010.
Harga naik
Pangsa pasar CPO China meningkat tajam dibandingkan sebelum tahun 2001 yang masih mencapai 1,5 juta ton. Malaysia memasok sedikitnya 4 juta ton dan Indonesia 2,4 juta ton.
Permintaan yang terus tumbuh di tengah pasokan yang terbatas turut memengaruhi pasar. Harga CPO untuk kontrak pengiriman Januari-Maret 2011, termasuk ongkos angkut dan asuransi di Rotterdam, Belanda, sudah 1.137,5 dollar AS per ton.
Adapun di pelabuhan ekspor di Malaysia untuk pengiriman November-Desember 2010 mencapai 1.105 dollar AS per ton.
Pada awal tahun 2010, harga CPO masih berkisar 600-650 dollar AS per ton. Produksi yang turun dan kenaikan permintaan untuk mengantisipasi libur akhir tahun menjadi faktor utama kenaikan harga.
Sementara itu, Wakil Presiden RSPO Derom Bangun mengungkapkan, kali ini tidak ada spekulasi yang memicu kenaikan harga CPO.
Berbeda dengan tahun 2008 saat krisis global terjadi, para pialang beralih ke bursa komoditas untuk menutupi kerugian mereka di bursa saham sehingga harga komoditas menjadi liar.
”Jika tak ada hal-hal yang aneh dan baru, kemungkinan menjelang akhir tahun 2010 harga CPO bisa mencapai 1.200 dollar AS per ton di Rotterdam. Permintaan begitu kuat, sementara produksi ternyata tidak bisa mengimbangi,” ujar Derom.
Standar Indonesia
Dalam sesi pertama pada hari kedua pertemuan VIII RSPO, Ketua Minyak Sawit Indonesia Rosediana Soeharto memaparkan Standar Minyak Sawit Lestari Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO).
Peserta menanggapi beragam pemaparan ini, ada pihak yang mendukung dan ada pula yang mencibir.
Serikat Petani Kelapa Sawit menuding ISPO menjadi standar tandingan karena tidak sanggup memenuhi RSPO. Rosediana menegaskan, ISPO tidak berkompetisi dengan standar kelestarian lain, misalnya RSPO.
”Kami memakai ISPO untuk menolong kami sendiri, yakni menciptakan produk lestari dan komitmen untuk menurunkan emisi karbon 26 persen tahun 2020,” ujar Rosediana
Sumber: Kompas.com
Demikian dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal Kamar Dagang Impor dan Ekspor Bahan Makanan dan Produk Hewani Republik Rakyat China Wang Huiquan seusai
berbicara dalam Pertemuan VIII Meja Bundar Minyak Kelapa Sawit Lestari (Roundtable on Sustainable Palm Oil/RSPO) di Jakarta, Rabu (10/11).
China tengah mempelajari standar kelestarian untuk mengantisipasi tren global atas produk ramah lingkungan.
”Saya percaya impor minyak nabati kami akan lebih tinggi, termasuk CPO. Keunggulan CPO saat ini adalah harga yang lebih murah dari minyak kedelai, tetapi kalau naiknya terlalu cepat, harga menjadi pertimbangan lagi bagi konsumen,” ujar Wang.
Ia menekankan, China mendukung CPO lestari. Namun, soal harga premium, masih butuh waktu karena impor CPO baru 22,4 persen dari minyak nabati China.
CPO merupakan minyak nabati kedua terbesar setelah minyak kedelai yang dikonsumsi warga China. Wang mengungkapkan, China mengimpor 24 juta ton minyak kedelai dan 6,4 juta ton CPO selama 2009-2010.
Harga naik
Pangsa pasar CPO China meningkat tajam dibandingkan sebelum tahun 2001 yang masih mencapai 1,5 juta ton. Malaysia memasok sedikitnya 4 juta ton dan Indonesia 2,4 juta ton.
Permintaan yang terus tumbuh di tengah pasokan yang terbatas turut memengaruhi pasar. Harga CPO untuk kontrak pengiriman Januari-Maret 2011, termasuk ongkos angkut dan asuransi di Rotterdam, Belanda, sudah 1.137,5 dollar AS per ton.
Adapun di pelabuhan ekspor di Malaysia untuk pengiriman November-Desember 2010 mencapai 1.105 dollar AS per ton.
Pada awal tahun 2010, harga CPO masih berkisar 600-650 dollar AS per ton. Produksi yang turun dan kenaikan permintaan untuk mengantisipasi libur akhir tahun menjadi faktor utama kenaikan harga.
Sementara itu, Wakil Presiden RSPO Derom Bangun mengungkapkan, kali ini tidak ada spekulasi yang memicu kenaikan harga CPO.
Berbeda dengan tahun 2008 saat krisis global terjadi, para pialang beralih ke bursa komoditas untuk menutupi kerugian mereka di bursa saham sehingga harga komoditas menjadi liar.
”Jika tak ada hal-hal yang aneh dan baru, kemungkinan menjelang akhir tahun 2010 harga CPO bisa mencapai 1.200 dollar AS per ton di Rotterdam. Permintaan begitu kuat, sementara produksi ternyata tidak bisa mengimbangi,” ujar Derom.
Standar Indonesia
Dalam sesi pertama pada hari kedua pertemuan VIII RSPO, Ketua Minyak Sawit Indonesia Rosediana Soeharto memaparkan Standar Minyak Sawit Lestari Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO).
Peserta menanggapi beragam pemaparan ini, ada pihak yang mendukung dan ada pula yang mencibir.
Serikat Petani Kelapa Sawit menuding ISPO menjadi standar tandingan karena tidak sanggup memenuhi RSPO. Rosediana menegaskan, ISPO tidak berkompetisi dengan standar kelestarian lain, misalnya RSPO.
”Kami memakai ISPO untuk menolong kami sendiri, yakni menciptakan produk lestari dan komitmen untuk menurunkan emisi karbon 26 persen tahun 2020,” ujar Rosediana
Sumber: Kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar