Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 April 2012

Potensi Kelapa Sawit di Sulawesi Tengah

Potensi Kelapa Sawit di Sulawesi Tengah
Jumlah Produksi Perkebunan Rakyat 2009 Sebesar 41.142 Ton, Perkebunan Swasta 2009 sebesar 95.492 Ton. Perkebunan Negara 2009 sebesar 18.003 Ton. Produksi Perkebunan Rakyat Sebesar 41.965 Ton (angka Sementara 2010), Perkebunan Negara Sebesar 18.453 Ton (angka Sementara 2010), Perkebunan Swasta sebesar 97.784 Ton (angka Sementara 2010).
Produksi 2010 (Ton) 158.202
Produksi 2009 (Ton) 154.638
Produksi 2008 (Ton) 19.211
Produksi 2007 (Ton) 8.180
Produksi 2006 (Ton) 135.213

Sumber Data:
Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011
Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan
Komp Deptan Gedung C Lt-III Ruang.307 Jl. Harsono R.M No. 3 Ps Minggu Jakarta Selatan 12550
Telp 021-7817693 021-7815380-4 Ext-4318
Fax 021-7815586 021-7815486

Updated: 16-4-2012
Lahan yang Sudah Digunakan (Ha) 46.655
Status Lahan Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 17.287 ha, dan Perkebunan Swasta sebesar 42.678 ha, Perkebunan Negara Sebesar 5.090 ha.

Sumber Data:
Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011
Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan
Komp Deptan Gedung C Lt-III Ruang.307 Jl. Harsono R.M No. 3 Ps Minggu Jakarta Selatan 12550
Telp 021-7817693 021-7815380-4 Ext-4318
Fax 021-7815586 021-7815486

Updated: 17-11-2011

Legenda

Propinsi
Kabupaten
Kelapa Sawit


  Re-Draw Map
Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit
No Nama Daerah Luas Lahan
1 Kabupaten Banggai Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 6.404
Status Lahan: Perkebunan Rakyat
2 Kabupaten Buol Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 1.260
Status Lahan: Perkebunan Rakyat
3 Kabupaten Donggala Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 6.837
4 Kabupaten Morowali Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 8.095
Status Lahan: Perkebunan Rakyat
»»  

Komoditi Kelapa Sawit

Ketersediaan Lahan Komoditi Kelapa Sawit
 
No Nama Daerah Luas Lahan
1 Bangka-Belitung Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 141.897
Status Lahan: Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 34.659 ha, dan Perkebunan Swasta sebesar 107.238 ha
2 Banten Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 15.023
Status Lahan: Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 6.795 ha Dan Perkebunan Negara Sebesar 8.228 ha.
3 Bengkulu Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 224.651
4 Jambi Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 489.384
5 Jawa Barat Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 10.580
6 Kalimantan Barat Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 499.542
7 Kalimantan Barat Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 530.575
8 Kalimantan Selatan Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 312.719
9 Kalimantan Tengah Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 1.270.980
10 Kalimantan Timur Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 409.466
Status Lahan: Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 115.484 ha, Perkebunan Swasta sebesar 379.080 ha dan Perkebunan Negara Sebesar 15.937 ha.
11 Kepulauan Riau Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 2.645
Status Lahan: Perkebunan Rakyat : 2002,645,
12 Lampung Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 153.160
13 Papua Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 26.256
14 Papua Barat Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 57.398
Status Lahan: Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 15.935 ha, Perkebunan Swasta sebesar 5.000 ha dan Perkebunan Negara Sebesar 10.207 ha.
15 Riau Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 1.781.900
Status Lahan: Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 889.916 ha, Perkebunan Negara sebesar 79.545 dan Perkebunan Swasta sebesar 812.439 ha
16 Sulawesi Barat Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 107.249
Status Lahan: Perkebunan Rakyat
17 Sulawesi Selatan Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 19.762
18 Sulawesi Tengah Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 46.655
Status Lahan: Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 17.287 ha, dan Perkebunan Swasta sebesar 42.678 ha, Perkebunan Negara Sebesar 5.090 ha.
19 Sulawesi Tenggara Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 21.669
Status Lahan: Perkebunan Rakyat dan Perkebunan Swasta
20 Sumatera Barat Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 344.352
Status Lahan: Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 170.093 ha, Perkebunan Swasta sebesar 166.423 ha dan Perkebunan Negara Sebesar 7.836 ha.
21 Sumatera Selatan Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 690.729
Status Lahan: Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 286.675 ha, Perkebunan Swasta sebesar 390.314 ha dan Perkebunan Negara Sebesar 128.780 ha.
22 Sumatera Utara Lahan yang sudah Digunakan (Ha): 1.017.570
Status Lahan: Luas Areal Perkebunan Rakyat sebesar 392.726 ha, Perkebunan Swasta sebesar 352.657 ha dan Perkebunan Negara Sebesar 299.471 ha.
sumber : http://regionalinvestment.bkpm.go.id
»»  

10 fakta tentang Kelapa Sawit

Kelapa Sawit membantu mengurangi angka kemiskinan di Negara berkembang
  • Bisnis kelapa sawit di Indonesia menyerap lebih dari 3 juta tenaga kerja, lebih dari setengahnya terlibat dalam perkebunan sehingga mampu menggerakkan perekonomian nasional
  •  80% produksi minyak sawit berasal dari Negara-negara berkembang, sehingga sangat positif untuk meningkatkan pendapatan masyarakatnya.
  • Bisnis kelapa sawit di Indonesia menyerap lebih dari 3 juta tenaga kerja, lebih dari setengahnya terlibat dalam perkebunan sehingga mampu menggerakkan perekonomian nasional
  • 80% produksi minyak sawit berasal dari Negara-negara berkembang, sehingga sangat positif untuk meningkatkan pendapatan masyarakatnya.

Kepemilikan petani/warga sangat besar di Kelapa Sawit.
  • Sebesar 46% dari jumlah lahan kelapa sawit di Indonesia adalah milik warga/petani
  • Emisi gas rumah kaca Kelapa Sawit paling kecil dibanding komoditas lain.
  • Emisi kelapa sawit sebear 835 kg sedangkan emisi kedelai 1.387 kg dan emisi rapeseed adalah 1.562 kg.
  • Perkebunan Kelapa Sawit memiliki kapasitas penyerapan karbon lebih tinggi sebab Kelapa Sawit memiliki waktu hidup 25-30 tahun.
  • Kelapa sawit mampu menyerap karbondioksida karena merupakan tumbahan dan juga bisa berfungsi sebagai kanopi.

Produktivitas Kelapa Sawit lebih tinggi dibandingkan komoditas minyak nabati lain dan juga lebih efisien dari segi lahan.
  • 1 ton CPO membutuhkan 0.26 ha sedangkan 1 ton minyak kedelai membutuhkan 2.22 ha. Minyak bunga matahari membutuhkan 2 ha dan minyak kanola membutuhkan 1.52 ha.
  • Produktivitas CPO sebesar 3,5 ton/ha/tahun. Sedangkan minyak kedelai 0,36 ton/ha/tahun, minyak kanola 0,55 ton/ha/tahun, dan minyak bunga matahari 0,36 ton/ha/tahun.


Kelapa sawit tidak berkontribusi besar terhadap berkurangnya hutan hujan tropis
  • Di Indonesia luas total perkebunan sawit mencapai 7,3juta ha. Sedangkan luar hutan konservasi 20,5 juta ha dan hutan lindung seluas 33,3 juta ha.
  • Pelaku perkebunan Kelapa Sawit mengikuti regulasi yang sifatnya domestic dan internasional.
  • Pemerintah Indonesia menerapkan aturan ketat dalam pembukaan dan budidaya laha Kelapa Sawit.
  • Produsen Kelapa Sawit dunia bergabung di RSPO yang membuat manajemen praktek Minyak Sawit Berkelanjutan (Sustainable Palm Oil).


Minyak sawit memiliki fungsi strategis sebagai bahan baku makanan, kosmetik, obat-obatan, dan energi.

Minyak Sawit merupakan bahan baku energy terbaharui dan dapat mengurangi ketergantungan kepada bahan bakar fosil.


Limbah Kelapa Sawit sangatlah multimanfaat karena dapat didaur-ulang.

  • Bungkil Sawit bermanfaat sebagai pakan ternak
  • Limbah kayu sawit dapat dipakai menjadi bahan baku furnitur.
»»  

Kamis, 19 April 2012

Demi Kelapa Sawit, RI dan Malaysia Kerja Sama

Pupuk Organik Kelapa SawitProdusen minyak kelapa sawit mentah (CPO) Indonesia dan Malaysia bekerja sama menghadapi isu negatif yang menghambat perkembangan industri sawit kedua negara. Nota kesepahaman (MoU) para produsen (CPO)  kedua negara ditandatangani di Jakarta, Jumat (5/3/2010) malam, yang disaksikan oleh Mentan Suswono serta Menteri Perusahaan Perladangan dan Komoditi Malaysia Tan Sri
Bernard Dompok.

"Kerja sama itu untuk menghalau isu-isu negatif tentang kelapa sawit," ujar Mentan Suswono usai menyaksikan penandatangan antara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Asosiasi Minyak Sawit Malaysia (MPOA).

Selain itu asosiasi lain yang ikut menandatangani MoU tersebut adalah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asosiasi Pemilik Perkebunan Minyak Sawit Serawak (Soppoa), Federal Land Development Autority’s (Felda), dan Asosiasi Investor Perkebunan Malaysia di Indonesia (APIMI).

Mentan Suswono mengatakan, Indonesia-Malaysia merupakan produsen  terbesar yang menguasai 85 produksi CPO dunia yang bila bersatu bisa menjadi penentu harga. Sayangnya, lanjut dia, CPO menghadapi isu negatif terutama di Eropa bahwa industri sawit merusak hutan, sehingga RI-Malaysia harus bekerja sama menghadapi kampanye negatif dari lembaga swadaya masyarakat (LSM).

"Setelah (MoU) ini akan ada gugus tugas yang bekerja intensif untuk menyuarakan kepentingan bersama bahwa produsen sawit telah melakukan praktik terbaik dalam pengembangan industri sawit lestari," ujar Suswono.

Ia berharap bila ada isu negatif dari LSM,  dibentuk lembaga independen untuk melakukan penilaian secara ilmiah, apakah benar pengembangan industri sawit suatu perusahaan tidak lestari. Dengan demikian ia berharap kasus pemutusan kontrak sepihak oleh pengguna CPO seperti Unilever, tidak terjadi lagi.

Menteri Perusahaan Perladangan dan Komoditi Malaysia Tan Sri Bernard Dompok menambahkan, RI dan Malaysia sebagai dua produsen terbesar memiliki posisi yang kuat dalam Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO).

"Tanpa MPOA dan Gapki, RSPO akan bubar, hal itu akan menjadi posisi tawar kami," ujarnya.  Ia mengatakan LSM pasti tidak ingin RSPO bubar karena mereka punya kepentingan.

Sementara itu Ketua Umum Gapki Joefly Bachroeny mengatakan sesama produsen CPO merasa senasib sepenanggungan dalam menghadapi tekanan baik dalam forum RSPO maupun forum internasional lainnya, terkait isu pembangunan industri sawit lestari dan reduksi emisi rumah kaca. "Karena itu harus ada kerja sama (produsen CPO RI-Malaysia) dalam bentuk lebih kongkrit dan dilakukan secara terencana dan sistematis," katanya.

Ketua MPOA Dato Mohamad Saleh mengatakan produsen CPO juga harus waspada menghadapi isu lingkungan lainnya yang akan dikembangkan LSM seperti pemakaian tanah tidak langsung.

Tahun lalu produksi CPO Indonesia menembus angka 2O juta ton dan Mentan Suswono memproyeksikan produksi mencapai 40 juta pada 2020.
Sumber: Kompas.com
»»  

Pemerintah Canangkan Kluster Industri Kelapa Sawit

Pemerintah Canangkan Kluster Industri Kelapa Sawit

Dalam rangka mendorong potensi kelapa sawit di Indonesia, pemerintah mencanangkan pengembangan kluster industri berbasis pertanian dan oleochemical di Kuala Enok dan Dumai di Kawasan Industri Dumai (KID), Pelintung, Dumai, Riau.

Pencanangan itu dilakukan langsung Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Perindustrian MS Hidayat, Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi dan pejabat daerah setempat.

"Kluster industri hilir kelapa sawit ini nantinya menjadi salah satu penggerak roda perekonomian nasional yang berbasis kepada sumber daya alam terbarukan," ujar Hatta dalam siaran pers saat pencanangan di Riau, Minggu (24/1/2010).

Pengembangan kluster industri berbasis pertanian dan oleochemical pada dua lokasi yang berbeda di Riau itu merupakan salah satu rencana aksi dari revitalisasi industri.

Kluster ini juga bertujuan untuk  meningkatkan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga industri harus diintervensi melalui kebijakan tidak lagi menjual bahan baku (industri hulu) tetapi juga industri hilir dan terakhir meningkatkan daya saing perekonomian nasional.

Hatta mengatakan, pencanangan kluster ini termasuk dalam program 100 hari pemerintahan yang baru ini dengan tujuan menghilangkan hambatan-hambatan bidang ekonomi.

"Salah satu revitalisasi yang kita lakukan di bidang industri adalah melakukan kluster-kluster ekonomi sehingga menghasilkan nilai tambah yang membawa berbagai dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi," jelasnya.

Gubernur Riau Rusli Zainal mengatakan, dengan adanya kluster industri hilir kelapa sawit ini maka Riau bisa mengembangkan perkebunan dan industri kelapa sawitnya yang selama ini kehilangan triliunan rupiah karena tidak mampu mengolah kelapa sawit.

Di 2008, Riau memiliki luas perkebunan kelapa sawit sekitar 2,3 juta hektar dengan sebanyak 6 juta ton per tahun yang sebagian besar diekspor ke luar negeri dengan 91 negara tujuan.
»»  

China Genjot Beli CPO Kelapa Sawit

Hasil Kelapa Sawit untuk Pupuk OrganikPertumbuhan ekonomi China yang signifikan membuat konsumsi minyak nabati meningkat. Importir China bakal mengimpor lebih banyak minyak nabati, di antaranya minyak kelapa sawit mentah untuk memenuhi permintaan domestik.
Demikian dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal Kamar Dagang Impor dan Ekspor Bahan Makanan dan Produk Hewani Republik Rakyat China Wang Huiquan seusai
berbicara dalam Pertemuan VIII Meja Bundar Minyak Kelapa Sawit Lestari (Roundtable on Sustainable Palm Oil/RSPO) di Jakarta, Rabu (10/11).

China tengah mempelajari standar kelestarian untuk mengantisipasi tren global atas produk ramah lingkungan.
”Saya percaya impor minyak nabati kami akan lebih tinggi, termasuk CPO. Keunggulan CPO saat ini adalah harga yang lebih murah dari minyak kedelai, tetapi kalau naiknya terlalu cepat, harga menjadi pertimbangan lagi bagi konsumen,” ujar Wang.
Ia menekankan, China mendukung CPO lestari. Namun, soal harga premium, masih butuh waktu karena impor CPO baru 22,4 persen dari minyak nabati China.
CPO merupakan minyak nabati kedua terbesar setelah minyak kedelai yang dikonsumsi warga China. Wang mengungkapkan, China mengimpor 24 juta ton minyak kedelai dan 6,4 juta ton CPO selama 2009-2010.
Harga naik
Pangsa pasar CPO China meningkat tajam dibandingkan sebelum tahun 2001 yang masih mencapai 1,5 juta ton. Malaysia memasok sedikitnya 4 juta ton dan Indonesia 2,4 juta ton.
Permintaan yang terus tumbuh di tengah pasokan yang terbatas turut memengaruhi pasar. Harga CPO untuk kontrak pengiriman Januari-Maret 2011, termasuk ongkos angkut dan asuransi di Rotterdam, Belanda, sudah 1.137,5 dollar AS per ton.
Adapun di pelabuhan ekspor di Malaysia untuk pengiriman November-Desember 2010 mencapai 1.105 dollar AS per ton.
Pada awal tahun 2010, harga CPO masih berkisar 600-650 dollar AS per ton. Produksi yang turun dan kenaikan permintaan untuk mengantisipasi libur akhir tahun menjadi faktor utama kenaikan harga.
Sementara itu, Wakil Presiden RSPO Derom Bangun mengungkapkan, kali ini tidak ada spekulasi yang memicu kenaikan harga CPO.
Berbeda dengan tahun 2008 saat krisis global terjadi, para pialang beralih ke bursa komoditas untuk menutupi kerugian mereka di bursa saham sehingga harga komoditas menjadi liar.
”Jika tak ada hal-hal yang aneh dan baru, kemungkinan menjelang akhir tahun 2010 harga CPO bisa mencapai 1.200 dollar AS per ton di Rotterdam. Permintaan begitu kuat, sementara produksi ternyata tidak bisa mengimbangi,” ujar Derom.
Standar Indonesia
Dalam sesi pertama pada hari kedua pertemuan VIII RSPO, Ketua Minyak Sawit Indonesia Rosediana Soeharto memaparkan Standar Minyak Sawit Lestari Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO).
Peserta menanggapi beragam pemaparan ini, ada pihak yang mendukung dan ada pula yang mencibir.
Serikat Petani Kelapa Sawit menuding ISPO menjadi standar tandingan karena tidak sanggup memenuhi RSPO. Rosediana menegaskan, ISPO tidak berkompetisi dengan standar kelestarian lain, misalnya RSPO.
”Kami memakai ISPO untuk menolong kami sendiri, yakni menciptakan produk lestari dan komitmen untuk menurunkan emisi karbon 26 persen tahun 2020,” ujar Rosediana
Sumber: Kompas.com
»»  

RI Harus Jadi Penentu Harga CPO Kelapa Sawit Dunia

Kelapa Sawit & Pupuk OrganikIndonesia selaku produsen minyak sawit mentah (crude palm oli/CPO) terbesar harus berani berubah menjadi penentu harga di dunia.

"Sementara ini, harga sawit kita kan masih mengacu ke Rotterdam. Seandainya kekuatan Indonesia dan Malaysia bisa 85 persen dari pasok dunia, bisa saja dua negara membuat acuan harga sawit sendiri, entah Belawan kek, Kuala Lumpur
kek," kata Pengamat ekonomi pertanian Indef, Bustanul Arifin, disela-sela diskusi "Membangun Industri Sawit Berkelanjutan" di Jakarta, Selasa (8/6/2010).

Menurut dia, jika Indonesia dapat menjadi acuan perantara pelaku bursa komoditas berarti sudah mengarah menjadi pemain internasional yang sebenarnya. "Betul volume kita besar, tapi kalau tidak kuasa menjadi ’price leader’ itu belum cukup," tegas Bustanul.

Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (Unila) ini juga memberikan usulan agar Indonesia memanfaatkan posisi "feed trading enterprise" yang dimiliki Perum Bulog. Walau pun posisi Bulog sebagai "feed trading" untuk impor tetapi dapat dijadikan rekan eksportir untuk menembus pasar internasional.

"Tinggal kapasitas diplomasi yang diperkuat. Karena ini persoalan bangsa juga maka harus ada kebijakan negara ke arah situ, jangan sepenuhnya diserahkan pada pelaku pasar," ujar dia.

Bustanul menjelaskan, yang terjadi saat ini khusus untuk komoditas pangan adalah "buyer treatment domination", dimana buyer memiliki kekuatan menentukan harga. "Itu sudah menjadi karakter, sekarang tinggal kita mampu tidak membalik karakter tersebut". "Jika dilakukan secara berjamaah, saya rasa bisa. Logikanya itu bisa dilakukan, tapi masalahnya kita tidak pernah mau memulainya," ujar dia.

Menurut dia, isu yang saat ini perlu menjadi perhatian bagaimana mensejahterakan petani sawit, dan dapat menjadi pemimpin pasar dengan mampu menjadi acuan harga dunia.

Sementara itu, Lektor Kepala di Bagian Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB, Dodik Ridho Nurrochmat, mengatakan, Indonesia telah menjadi negara produsen sawit terbesar di dunia sejah tahun 2006, menggeser Malaysia. Total produksi sawit telah menyumbang sekitar 45 persen total produksi sawit dunia.

Sedangkan penambahan luas areal kebun sawit baru sejak tahun 2001 hingga 2009 rata-rata sekitar 372.000 hektare per tahun atau meningkat rata-rata tujuh persen. Sehingga total luas kebun sawit di Indonesia mencapai 7,5 juta hektare (2009), dengan komposisi 2.120.338 hektare merupakan kebun sawit rakyat, 696.669 hektare milik BUMN, dan swasta 3.141.699 hektare.
Sumber: Kompas.com
»»  

Produksi sawit diperkirakan capai 24 juta ton

JAKARTA: Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memperkirakan produksi minyak kelapa sawit tahun ini akan mencapai 24 juta ton. Wakil Ketua I DMSI Derom Bangun mengatakan produksi crude palm oil (CPO) dan turunannya akan mencapai 24 juta ton tahun ini yang bergantung pada kondisi iklim.
“Kalau cuaca tidak normal, kemungkinan kurang dari 24 juta ton. Untuk kebutuhan di dalam negeri sebanyak 4,5 juta ton, sedangkan sisanya diekspor seluruhnya,” ujarnya pada akhir pekan kemarin.
Dia memaparkan peningkatan produksi kelapa sawit didorong oleh tanaman baru yang telah ditanam pada 2006 dan 2007. Menurut Derom, produktivitas dri tanaman yang baru tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang sudah tua. Produktivitas sawit di dalam negeri sekitar 3,5-3,6 ton per hektare.

Bencana tsunami di Jepang, kata dia, membuat kekhawatiran terhadap kelesuan ekonomi di beberapa negara yang dapat memengaruhi permintaan minyak kelapa sawit.

“Dampak psikologis itu [tsunami Jepang] telah membuat harga turun dari sebelumnya masih di atas US$1.200 per ton menjdi sekitar US$1.100 per ton,” jelasnya.

Hal tersebut, kata dia, juga berdampak terhadap harga lelang minyak sawit domestik yang turun menjadi Rp8.359 per kg dibandingkan dengan sebelumnya Rp9.000 per kg. “Jadi [harga lelang minyak kelapa sawit] sudah lebih rendah.”
Sumber : Bisnis.com
»»  

Bank Dunia Terapkan Strategi Baru di Sektor Kelapa Sawit

JAKARTA - Kelompok Bank Dunia menyatakan, akan menerapkan kerangka kerja dan strategi yang baru Bank Dunia dan IFC (international Fund Corporation) sebagai pedoman untuk aktifitas kedua institusi di sektor kelapa sawit di seluruh dunia.

Vice President IFC untuk Business Advicory Services, Rachel Kyta, dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (5/4) mengatakan, kerangka kerja dan strategi itu adalah hasil dari  konsultasi mendalam dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan dan sosial, petani, masyarakat asli yang tinggal di sektor perkebunan kelapa sawit, perusahaan swasta dan pemerintah.
Respon yang diterima dari rangkaian konsultasi tersebut menegaskan bahwa sektor kelapa sawit dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan jika dilakukan dengan menerapkan standar kelestarian dan sosial yang ketat.

Rachel Kyta mengatakan, para pemangku kepentingan dari sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat sangat memahami potensi industri kelapa sawit untuk mengurangi kemiskinan jika dilakukan sesuai dengan praktik-praktik terpuji dalam pelestarian lingkungan dan sosial.

"Para pemangku kepentingan meminta kelompok Bank Dunia untuk mendukung model terbaru dalam membiayai sektor ini sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat rendah dan lingkungan. Kami berkomitmen untuk melakukan hal tersebut, " ucapnya.

Minyak sawit, lanjut dia diproduksi dan mempekerjakan lebih dari enam juta orang di pedesaan di seluruh dunia. Petani rakyat mendominasi produksi minyak sawit dan jumlahnya terus meningkat.

Sekitar 70 persen produksi minyak sawit digunakan sebagai bahan baku utama dalam masakan oleh masyarakat berpendapatan rendah di Asia dan Afrika. Walaupun kelompok Bank Dunia merupakan pemain kecil di indusri kelapa sawit, ungkap Vice President World Bank for Sustainable Developmen, kontribusi guna kelestarian sektor ini terus meningkat,

"Fokus Kami memberikan dukungan kepada petani rakyat dan masyarakat pedesaan yang berpenghasilan rendah sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, ujarnya.

Kerangka kerja kelompok Bank Dunia dan Strategi IFC akan memprioritaskan inisiatif-inisiatif institusi dan pasar yang mendukung petani rakyat dan mendorong pemerataan manfaat bagi masyarakat di pedesaan.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan membantu mengeluarkan kelompok produsen petani rakyat, memperluas akses terhadap pembiayaan dan pasar bagi petani rakyat, katanya. sumber : republika.co.id
»»  

Swasta harus gandeng petani kelapa sawit untuk hadapi ISPO

JAKARTA. Menjelang pemberlakuan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) pada tahun 2012 nanti, para pelaku usaha dan pemilik kebun kelapa sawit terus berbenah. Apalagi, selama ini sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih didominasi oleh perkebunan rakyat.
Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Soedjai Kartasasmita mengungkapkan, dari total luas areal perkebunan kelapa sawit nasional sebesar 7,5 juta hektare (ha), sebanyak 45% adalah perkebunan rakyat. Artinya, sekitar 3,5 juta ha adalah perkebunan rakyat. "Angka ini akan terus meningkat setiap tahun, sehingga porsi kebun milik petani rakyat semakin besar," ujarnya Rabu (11/5).

Pengamat pertanian Bungaran Saragih menambahkan, porsi petani plasma masih lebih kecil ketimbang petani swadaya. Menurutnya, petani swadaya mencapai 68% dari total petani sawit di Indonesia, sedangkan sisanya sebanyak 32% adalah petani plasma.

“Tapi, kemampuan petani rakyat untuk bisa mengelola kebun dengan baik masih sangat minim. Akibatnya produktivitas tanaman kelapa sawit kita masih rendah," katanya.

Sekadar mengingatkan, pemerintah akan segera memberlakukan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk seluruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sebagai awal, tahun ini pemerintah akan melakukan uji coba penerapan ISPO pada 20 perusahaan perkebunan di Indonesia. Targetnya, audit ISPO seluruh perkebunan sawit di Indonesia akan selesai pada tahun 2014 nanti.

Untuk menjadi perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, maka setiap perkebunan kelapa sawit harus memenuhi setidaknya tujuh prinsip dan kriteria yang tercantum dalam ISPO. Misalnya, memenuhi sistem perizinan dan manajemen perkebunan hingga tanggung jawab sosial dan komunitas, pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat, dan peningkatan usaha secara berkelanjutan.

Bagi perkebunan besar, kata Bungaran memang tidak sulit untuk menerapkan sertifikasi ISPO. Tapi, bagi petani rakyat, kemungkinan agak sulit untuk menerapkannya. Karenanya, perlu kerjasama dengan perkebunan besar sebagai partner untuk membantu petani mewujudkan ISPO.

"Kerjasama petani dan perkebunan besar bisa diwujudkan dalam pemberdayaan organisasi petani yang efektif dan efisien. kalau tidak, sangat sulit perbaiki industri sawit," jelas Bungaran.

Menurut Bungaran, saat ini tingkat produktivitas rata-rata tanaman sawit Indonesia hanya sekitar 3 ton per ha per tahun. Padahal, dengan perawatan kebun yang baik, menurut mantan menteri pertanian ini tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit bisa meningkat menjadi 6 ton per ha per tahun. Artinya, untuk bisa meningkatkan produksi kelapa sawit, perlu ada peningkatan produktivitas. "Kita tidak perlu ekspansi, hanya butuh intensifikasi," jelas Bungaran.

Tak hanya itu, untuk meningkatkan produktivitas dan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, perlu dukungan lembaga riset atau penelitian. Soedjais mengakui, selama ini dukungan penelitian kelapa sawit di Indonesia masih sangat minim, misalnya dalam teknologi bibit unggul. Alhasil, banyak petani rakyat yang menggunakan bibit sawit yang tidak unggul, sehingga produksinya tidak bisa optimal.

Pajak dikembalikan ke petani

Soedjais bilang, pembinaan dan pengembangan petani rakyat sebenarnya bisa dilakukan dengan menggunakan biaya dari instrumen pajak ekspor. Seperti diketahui, selama ini pemerintah menetapkan bea keluar (BK) untuk ekspor CPO.

Ia bilang, harusnya pemerintah mengembalikan sebagian dana dari hasil BK CPO untuk pengembangan industri. "Jadi dananya ini nanti sebagian dikembalikan ke petani atau industri untuk kepentingan penelitian dan pendidikan ke petani," ujarnya.

Jika ini tidak dilakukan, Soedjais khawatir daya saing petani kelapa sawit nasional akan semakin tergerus. Untuk bisa meningkatkan daya saing, "Pendidikan petani itu penting sekali untuk R&D dan pengembangan infrastruktur," jelasnya.

Asal tahu saja, berdasarkan perhitungan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, tahun 2010 lalu produksi CPO Indonesia diperkirakan sekitar 21 juta ton. Tahun ini, Gapki memperkirakan produksi CPO nasional akan mencapai sekitar 22 juta ton - 22,5 juta ton. Sedangkan untuk ekspor, Gapki memperkirakan tahun ini ekspor CPO Indonesia bisa mencapai sekitar 16,5 juta ton atau naik ketimbang tahun lalu yang sekitar 15,6 juta ton.
Sumber : Kontan.co.id
»»  

Strategi Baru Sektor Kelapa Sawit

Strategi Baru Sektor Kelapa Sawit

JAKARTA - Kelompok Bank Dunia menyatakan, akan menerapkan kerangka kerja dan strategi yang baru Bank Dunia dan IFC (international Fund Corporation) sebagai pedoman untuk aktifitas kedua institusi di sektor kelapa sawit di seluruh dunia.

Vice President IFC untuk Business Advicory Services, Rachel Kyta, dalam keterangan pers di Jakarta,Selasa (5/4) mengatakan, kerangka kerja dan strategi itu adalah hasil dari  konsultasi mendalam dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan dan sosial, petani, masyarakat asli yang tinggal di sektor perkebunan kelapa sawit, perusahaan swasta dan pemerintah.

Respon yang diterima dari rangkaian konsultasi tersebut menegaskan bahwa sektor kelapa sawit dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan jika dilakukan dengan menerapkan standar kelestarian dan sosial yang ketat.

Rachel Kyta mengatakan, para pemangku kepentingan dari sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat sangat memahami potensi industri kelapa sawit untuk mengurangi kemiskinan jika dilakukan sesuai dengan praktik-praktik terpuji dalam pelestarian lingkungan dan sosial.

"Para pemangku kepentingan meminta kelompok Bank Dunia untuk mendukung model terbaru dalam membiayai sektor ini sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat rendah dan lingkungan. Kami berkomitmen untuk melakukan hal tersebut, " ucapnya.

Minyak sawit, lanjut dia diproduksi dan mempekerjakan lebih dari enam juta orang di pedesaan di seluruh dunia. Petani rakyat mendominasi produksi minyak sawit dan jumlahnya terus meningkat.

Sekitar 70 persen produksi minyak sawit digunakan sebagai bahan baku utama dalam masakan oleh masyarakat berpendapatan rendah di Asia dan Afrika. Walaupun kelompok Bank Dunia merupakan pemain kecil di indusri kelapa sawit, ungkap Vice President World Bank for Sustainable Developmen, kontribusi guna kelestarian sektor ini terus meningkat,

"Fokus Kami memberikan dukungan kepada petani rakyat dan masyarakat pedesaan yang berpenghasilan rendah sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, ujarnya.

Kerangka kerja kelompok Bank Dunia dan Strategi IFC akan memprioritaskan inisiatif-inisiatif institusi dan pasar yang mendukung petani rakyat dan mendorong pemerataan manfaat bagi masyarakat di pedesaan.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan membantu mengeluarkan kelompok produsen petani rakyat, memperluas akses terhadap pembiayaan dan pasar bagi petani rakyat, katanya. Sumber : Republika.co.id
»»  

Industri Kelapa Sawit Indonesia Harus Siap Sertifikasi 2015

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), badan yang menaungi sejumlah stakeholder industri kelapa sawit, mengingatkan pentingnya mendapatkan sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan (Certified Sustainable Palm Oil/CSPO).
Sebab, 2015 nanti, sejumlah perusahaan besar telah berkomitmen hanya membeli minyak kelapa sawit berkelanjutan. RSPO berharap Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia dapat memberi contoh bagi produsen lainnya di dunia.
Menurut Sekretaris Jenderal RSPO Darrel Webber, peningkatan permintaan terhadap CSPO menunjukkan angka yang sangat baik. Begitu pula keinginan petani dan perusahaan kelapa sawit untuk mendapatkan sertifikat CSPO dari RSPO.
Data RSPO menunjukkan, produksi CSPO sepanjang tahun lalu mencapai 4,2 juta ton atau 8% dari jumlah produksi minyak kelapa sawit dunia. Sebanyak 30% dari produksi tersebut berasal dari Indonesia.
"Dalam 2,5 tahun naik 8% ini cukup baik. Artinya, RSPO dalam 2,5 tahun cukup diterima di dunia," papar Webber ketika berkunjung ke Jakarta, Kamis (19/5)
»»  

GCG Vs Citra Perkebunan Kelapa Sawit

GCG Vs Citra Perkebunan Kelapa Sawit

Industri minyak sawit belakangan ini banyak diterpa isu negatif, mulai dari tuduhan budidaya kelapa sawit merusak lingkungan dan hutan hujan tropis serta hilangnya keanekaragaman hayati, sampai isu sosial dan pelanggaran hukum.
Isu-isu negatif tersebut secara tidak langsung dapat menghambat upaya pengembangan industri kelapa sawit nasional.
Untuk pengembangan industri sawit nasional yang berkelanjutan, maka  manajemen perkebunan kelapa sawit perlu memastikan kepada pihak yang berkepentingan bahwa sumber daya tersebut digunakan secara tepat dan seefisien mungkin, serta  memastikan bahwa manajemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan perusahaan, sehingga manajemen dapat menyakinkan para stakeholders akan perolehan kembali imbalan yang wajar.
Kepastian seperti itu bisa diperoleh dengan penerapan sistem tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance—GCG). Untuk  memenuhi maksud tersebut, perusahaan perkebunan tidak cukup hanya melakukan serangkaian langkah efisiensi, tetapi harus mendapat dukungan dari semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan atau stakeholders, seperti kreditor, suplier, pemerintah, karyawan, masyarakat sekitar, dan publik yang menjadi konsumen atau pengguna produk minyak sawit.
Sumber : infosawit.com
»»  

Kebijakan Industri Kelapa Sawit

Perkembangan industri kelapa sawit nasional selama ini lebih didorong oleh kebijakan pemerintah. Kedepan diharapkan kebijakan itu akan lebih mendukung lagi. Terlebih lagi peran industri minyak sawit RI semakin penting, termasuk mengamankan suplai CPO dunia.
Dalam soal pasokan gas untuk kebutuhan domestik, perhatian pemerintah sangat tinggi dengan mengutamakan alokasi gas untuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan pabrikan pupuk guna terjaminnya suplai energi listrik dan pupuk ke masyarakat.

Berbeda halnya perhatian terhadap industri sawit nasional. Padahal, komoditas sawit sejak tahun 2007 telah memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap pendapatan negara. Itu  terlihat dari nilai ekspor CPO tahun 2007 mencapai US$ 7,8 miliar, lalu pada 2008 melonjak tajam menjadi US$ 12,4 miliar. Tahun 2009 nilai ekspor mencapai US$ 10 miliar dan pada 2010 naik menjadi US$ 16,4 miliar. Terdapat pertumbuhan sekitar 13% per tahun.
Sumber : infosawit.com
»»  

Rabu, 19 Oktober 2011

Harga Kelapa Sawit Tetap Tinggi di 2011

Permintaan minyak sawit global di 2011 tetap akan meningkat akibat penurunan produksi minyak kedelai. Namun karena tidak diimbangi dengan produksi yang cukup, harga CPO bakal bertahan di US$ 1.000-1.200/ton.

Demikian disampaikan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan dalam siaran pers, Senin (24/1/2011).
"Beberapa analis dunia memperkirakan kebutuhan minyak sawit dunia akan bertambah antara 2-3 juta ton pada 2011. Walaupun permintaan naik, diperkirakan suplai minyak sawit tidak dapat mengimbangi permintaan, sehingga harga CPO akan tetap bertahan antara US$ 1.000-1.200/ton sampai semester I-2011," tutur Fadhil.

Meski begitu, Fadhil mengatakan, industri sawit Indonesia mengalami tujuh hambatan utama di 2011. Penambahan produksi minyak sawit dunia diperkirakan mencapai 2,5 juta ton di mana kontribusi produksi CPO Indonesia berkisar antara 1,8-2 juta ton.

Tujuh hambatan tersebut membuat industri sawit akan kesulitan melakukan ekspansi dan atau mengalami penurunan daya saing jika hambatan tersebut tidak dihilangkan. 

Hambatan tersebut adalah pertama pelaku sawit menghadapi masalah lahan bagi pengembangan kebun baru yang diakibatkan ketidaktuntasan masalah tata ruang nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).

"Selain, adanya ketidakpastian hukum terhadap status legalitas lahan. Kondisi ini membuat pemegang konsesi dan investor memilih sikap 'wait and see' yang tentu saja akan berdampak kepada tingkat ekspansi lahan," ujar Fadhil.

Kedua, kebijakan moratorium hutan primer dan lahan gambut malahan dapat mempersulit penuntasan masalah lahan yang sebelumnya telah dihadapkan dengan masalah RTRWP. Dalam pandangan Gapki, Inpres mengenai moratorium  akan bertabrakan dengan regulasi lain seperti UU Nomor 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan. Atas dasar itulah, kebijakan moratorium menjadi kontraproduktif bagi pengembangan investasi kelapa sawit.

"Meskipun pemerintah menyediakan lahan terdegradasi seluas 35,2 juta ha tetapi status areal tersebut masih meragukan karena termasuk kawasan hutan," jelas Fadhil.

Ketiga, bea keluar CPO yang tinggi dan bersifat progresif seperti berlaku sekarang ini terbukti tidak maksimal untuk menekan volume ekspor CPO dan belum mampu mendorong pengembangan industri hilir dalam negeri.

Sebaliknya, sistem bea keluar diyakini tidak adil bagi produsen bahan baku baik perkebunan negara/swasta maupun petani rakyat karena 'tidak menikmati' kenaikan margin yang seharusnya didapatkan dari tingginya harga CPO dunia saat ini. Jadi tidak tepat apabila bea keluar dijadikan instrumen utama karena sebenarnya industri hilir lebih membutuhkan insentif yang tepat dan menarik.

Keempat, pengembangan perkebunan kelapa sawit yang mengarah ke Indonesia Timur kurang didukung infrastruktur yang memadai seperti pelabuhan. Semestinya terdapat satu pelabuhan ekspor CPO di Kalimantan untuk memudahkan penjualan CPO ke luar negeri. Dengan pertimbangan, total produksi CPO dari wilayah Kalimantan dan Sulawesi telah mencapai 30% dari produksi nasional.

"Diharapkan pula pembangunan klaster industri segera direalisasikan untuk pengembangan industri hilir kelapa sawit," kata Fadhil.

Kelima, pelaku usaha sawit merasa dirugikan dengan penerapan aturan perpajakan mengenai PPn atas produk primer TBS. Pasalnya, PPn TBS selama ini dibebaskan sehingga pajak masukan atas barang-barang faktor produksi tidak bisa dikreditkan dan menjadi beban tambahan. Akibatnya, menimbulkan pajak berganda (double taxation) kepada perusahaan yang terintegrasi (produksi-pengolahan).

Keenam, kampanye anti-sawit tetap berlangsung bahkan ada kemungkinan semakin kuat tekanan yang diberikan kepada pelaku industri sawit. Tema kampanye anti-sawit masih dikaitkan dengan isu perubahan iklim maupun kerusakan lingkungan secara umum.

Rangkaian kampanye anti-sawit ini akan semakin sistematik yang tidak saja dilakukan oleh NGO saja melainkan oleh group consumer tertentu dan beberapa negara di Uni Eropa, lewat pemberlakukan standar baru dalam perdagangan sawit dan menerapkan aturan yang berbentuk non-tariff barier.

Ketujuh, Indonesia harus melakukan program mitigasi perubahan iklim dengan kekuatan sendiri tanpa melibatkan bantuan asing. Pelibatan dana asing hanya akan membuat Indonesia makin tergantung pada negara lain, sementara dana bantuan asing belum tentu memberikan dampak langsung pada penyerapan tenaga kerja dan pengurangan keniskinan.

Mencermati peningkatan permintaan pasar minyak nabati dunia yang terus meningkat dan melihat bahwa semua minyak nabati dunia melakukan ekspansi produksi, maka minyak sawit Indonesia tidak boleh berhenti ekspansi jika tidak mau kehilangan peluang pasar dan kehilangan momentum membangun perekonomian nasional.

"Oleh karena itu, semestinya pemerintah membuat iklim yang kondusif dengan membuat terobosan kebijakan sebagai upaya mengatasi hambatan yang dihadapi pelaku industri sawit nasional," tukas Fadhil.
»»  

Produksi Bibit Kelapa Sawit Nasional Belum Maksimal

Produksi Bibit Kelapa Sawit Nasional Belum Maksimal


Meski ekspor crude palm oil (CPO) terus menggeliat, ternyata tidak lantas mengerek produksi bibit kelapa sawit. Produksi kelapa sawit secara nasional masih jauh dari titik ideal.
Razak Purba, Manajer Bahan Tanaman Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) mengatakan, produksi bibit sawit di 2010 hanya 120 juta butir. Padahal, kapasitas terpasang produksi sawit secara nasional bisa mencapai 220 juta butir. "Produksi kita masih jauh dari ideal," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (8/3).


Permintaan yang stagnan menjadi penyebab utama mandegnya produksi bibit sawit nasional. Razak bilang, produsen bibit sawit sejauh ini tidak memiliki hambatan apapun untuk menggenjot produksi. Namun, pihaknya tidak bisa langsung menggenjot produksi sampai titik maksimal, jika permintaannya memang tidak banyak. "Kita memproduksi bibit sesuai dengan jumlah permintaan," imbuh Razak.

Sekadar informasi, permintaan bibit sawit secara nasional rata-rata 186 juta ton. Sejumlah 120 juta ton dipasok oleh produsen dalam negeri, dan sisanya diimpor dari negara lain seperti Kosta Rika, Papua Nugini, dan Kolombia.

Razak menduga permintaan stagnan karena beberapa faktor, terutama sulitnya membuka lahan perkebunan baru. Perusahan perkebunan maupun petani rakyat harus menghadapi izin yang panjang dan ketat untuk membuka lahan baru. Belum lagi adanya rencana moratorium hutan yang berpotensi mengerem laju ekspansi perkebunan sawit. "Imbasnya, permintaan bibit sawit segitu-segitu aja," kata Razak.

Kondisi ini berimbas pada harga bibit sawit yang bertahan di kisaran Rp 6.000 - Rp 9.000 per butir. Menurut Razak, harga ini bertahan sejak 2009 silam. Pada waktu itu, harga bibit sebenarnya sempat naik dari Rp 4.500 per butir pada 2008, menjadi Rp 6.000 - Rp 9.000 per butir pada awal 2009. "Namun sejak itu tidak ada kenaikan harga lagi," keluh Razak.

Asmar Arsyad, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menambahkan, produksi bibit sawit juga terhambat ketersediaan lahan induk (plasma nutfah). Di Medan saja, luas lahan induk hanya sekitar 400 hektare. Padahal, Medan adalah daerah utama yang paling diharapkan dalam produksi bibit sawit. "Akibatnya, produksi bibit sawit belum maksimal," ujarnya kepada KONTAN.

Pendapatan penyemai stagnan

Mandegnya produksi bibit berimbas pada pendapatan penyemai bibit sawit. Yuli Susanto, penyemai bibit sawit asal Kalimantan Selatan, mengatakan pendapatannya stagnan di angka Rp 460 juta - Rp 690 juta per tahun. Hitungannya, Yuli biasanya menyemai sekitar 200.000 - 300.000 bibit sawit per tahun. Setelah agak besar, bibit hasil semaian itu dijual seharga Rp 23.000 per pohon. "Pendapatan saya tetap segitu sejak 2009," katanya kepada KONTAN.

Yuli juga kerap dipusingkan dengan keberadaan bibit sawit palsu yang dijual kepada petani. Menurutnya, bibit ini dijual lebih murah dari bibit bersertifikat yang dijual olehnya. Harga satu pohon bibit palsu hanya Rp 15.000. Bandingkan, dengan bibit bersertifikat yang satu pohonnya bisa mencapai Rp 23.000 - Rp 25.000.
"Petani kan tidak tahu mana bibit asli mana yang palsu, yang penting ada yang lebih murah ya mereka beli," keluhnya. Efeknya, bibit hasil semaian Yuli membutuhkan waktu lebih lama untuk laku terjual.

Meski produksi tahun lalu mandeg, Razak optimis produksi bibit tahun ini bisa naik ke angka 160 juta butir. Ini didasarkan pada tren meningkatnya volume ekspor CPO dalam beberapa waktu terakhir. Razak berharap tren itu mengatrol ekspansi lahan sawit di beberapa daerah. "Yang ujung-ujungnya mengatrol produksi bibit sawit kita," jelasnya.

Asmar menimpali, kebutuhan bibit juga bakal meningkat seiring sudah banyaknya pohon yang berusia tua, lebih dari 25 tahun. Pohon itu terutama berasal dari perkebunan rakyat. Dia menduga, dari 3,3 juta hektare lahan perkebunan sawit milik rakyat, sekitar 1 juta hektarenya ditanami pohon yang sudah tua. "Ini harus cepat diganti, karena pohon tua itu produktifitasnya menurun jauh," kata Asmar.
sumber : kontan.co.id
»»